HOBI: TEMAN ATAU MUSUH

Bagi kalian yang sedang berpartner pasti akan dihadapkan pada masalah yang sepele tapi dibuat seolah-olah megah tak terbantah. Entah untuk sebuah alasan apa, kadang saya juga dibuat heran. Masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan duduk bersama didampingi beberapa gelas kopi atau teh panas dan beberapa potong gorengan di angkringan pinggir jalan dibuat jadi rumit. Kali ini saya sedang ingin membahas sebuah kata singkat yang sering memicu kekisruhan saya dengan partner atau kalian dan partner kalian masing-masing mungkin. Kata itu H-O-B-I. Terbaca jelas? Iya, HOBI.

Bagi pelaku asmara, muda mudi di usia belasan, belum akan dipusingkan dengan masalah sepele ini. Karena bagi mereka yang masih sibuk memikirkan ujian akhir sekolah, mendefinisikan hubungan berpartner tidak akan serumit isi kepala-kepala manusia yang memasuki usia seperempat abad dan seterusnya. Para muda-mudi itu akan selalu memilih menghabiskan waktu bersama daripada harus sekedar berkutat dengan dunia masing-masing. Entahlah, tapi sungguh ketika saya seusia mereka saya tidak sibuk dalam urusan itu.

Ketika saya dan kalian dengan angka hampir seperempat abad dan seterusnya memutuskan untuk berpartner, dipastikan saya dan kalian telah melakukan diskusi kecil dengan-Nya. Entah hanya sekedar untuk mengenalkan kepada-Nya atau bahkan melantunkan ayat-ayat doa agar sang partner bisa membantu untuk menyempurnakan separuh ibadah saya dan kalian. Yang pasti saya membayangkan keintiman yang luar biasa indahnya ketika saya dan kalian sedang berdiskusi dengan Sang Maha Oke, terlepas dari apapun cara dan bahasa yang saya dan kalian gunakan.

Sekarang usia saya hampir seperempat abad dan perlahan saya paham. Hobi dan partner adalah dua hal yang tidak sama bahkan jauh berbeda tetapi mereka tidak akan berjauhan bahkan sangat erat. Saya dan partner adalah dua individu yang berbeda dalam hal apa saja. Tidak saja soal kelamin, kami berbeda soal perilaku, soal sudut pandang, soal intepretasi masalah, soal definisi kehidupan, dan tidak luput pula soal hobi. Berarti kami dalam masalah? Bernafaslah sebentar, jangan terlalu cepat menyimpulkan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; hobi adalah kegemaran, kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Hanya dilakukan di waktu senggang? Lalu bagaimana dengan orang yang menjadikan hobi sebagai pekerjaan utama? Apakah itu masih bisa disebut hobi? Atau mulai ada pergeseran makna? Bagaimana jika hobi yang seharusnya membuat saya dan kalian rileks, justru menjadi boomerang dan menumbuhkan keegoisan karena saya dan kalian terlalu tenggelam di dalamnya? Entahlah mungkin kata itu hanya terbaca sama tetapi maknanya sudah berbeda.

Disaat banyak wanita mengimani belanja dan ritual ke salon kecantikan sebagai hobi. Apakah itu hobi? Bahkan banyak dari mereka yang melakukan itu tidak hanya di waktu senggang, tapi seperti menjalankan ibadah, rutin setiap harinya. Sebagai wanita, mungkin saya sedikit berbeda dari kebanyakan. Saya tidak biasa mengaplikasikan banyak rupa make-up ke wajah. Saya juga tidak biasa dengan tempat-tempat pencipta kecantikan wanita. Saya juga tidak biasa masuk dan berkerumun untuk berebut barang pujaan dan keluar dengan meneteng beberapa kantong belanjaan. Saya bukan tidak pernah diposisi mereka, tetapi mungkin kadarnya saja yang berbeda.  Jika bagi mereka itu kewajiban mungkin bagi saya hanya sesekali saja. Jadi jika ditarik benang merah, saya memang tidak memiliki hobi seperti kebanyakan.

Lalu apa hobi saya? Saya tidak akan mengkultuskan apapun. Bagi saya, apapun itu yang bisa membuat saya lupa sejenak dengan kepenatan masalah hidup itu adalah hobi saya. Karena bagi saya hobi itu menenangkan saya pribadi dan tidak mengganggu orang lain. Mengisi playlist dengan lagu dari band favorit, mendatangi acara gigs dengan panggung rendah luas tanpa barikade dan larut dalam hingar bingarnya, menulis kemudian mempostingnya ke blog, menemui kawan lama untuk bertukar kabar dan ngopi mungkin adalah sederet ritual yang akan saya lakukan di setiap waktu senggang. Jika ditarik dari awalan tadi, mungkin saya sudah tahu apa hobi saya.

Dia, partner saya, baru-baru ini juga sedang dibuat gila oleh hobi barunya. Hobi yang mungkin bagi sebagian kalian para wanita jadi hobi yang membosankan. Bahkan banyak mungkin dari kalian yang akhirnya harus berselisih paham gara-gara hobi sang partner. Memancing. Iya. Kalian para wanita pasti mulai paham apa maksut pernyataan saya di awal paragraf tadi. Pasti di dalam hati kalian pun saling mengamini apa yang barusan saya tulis. Sudah jujur saja kalian, hahaha. Sebenarnya saya agak tidak setuju dengan kalian para wanita. Memancing itu sejujurnya menyenangkan. Karena sempat beberapa lama dulu ketika saya masih di sekolah dasar, saya pun hobi memancing. Jadi saya tahu betapa menyenangkannya kegiatan memancing itu. Yang membedakan, dulu mungkin saya belum berpartner, jadi saya tidak harus berkirim kabar seperti yang dilakuakan partner saya sekarang-sekarang ini. Karena ritual kami adalah wajib untuk saling tahu apa yang masing-masing dari kami lakukan. Ini bukan berlebihan. Karena kami menghargai hubungan kami.

Menurut saya, setiap individu berhak memiliki hobi. Karena hobi adalah saluran buang saya dan kalian dari kepenatan rutinitas keseharian. Tubuh saja perlu saluran buang, apalagi dengan jiwa dan pikiran manusia yang makin hari makin dihadapkan dengan situasi yang merumit. Tetapi terkadang banyak diantara saya dan kalian lupa soal pertanggungjawaban kepada orang-orang di sekitar. Bahkan sering diantara saya dan kalian hanya mementingkan kebahagian sendiri tanpa mau peduli dengan sekitar. Hal-hal inilah yang memicu keresahan orang di sekitar kita yang merasa terusik kenyamanannya. Bagi yang sudah berkeluarga, mungkin mereka akan lupa dengan tanggung jawab kepada keluarganya. Bagi mereka yang berpartner, mungkin mereka akan lupa bahwa mereka tidak sendiri tetapi ada yang menanti kabar mereka. Bagi yang sedang ditunggu pekerjaan, mungkin mereka akan lupa bahwa hasil kerja mereka dibutuhkan untuk kepentingan perusahaan dan karyawan lainnya.

Kenapa saya menulis ini, hanya sekedar sebagai pengingat. Bahwa saya dan kalian tidak hidup untuk kesenangan sendiri. Bahwa saya dan kalian hidup di tengah-tengah orang lain. Bahwa saya dan kalian juga punya tanggung jawab masing-masing yang tidak boleh ditinggalkan. Bahwa saya dan kalian tetap harus menjalin hubungan yang baik dengan orang lain untuk mencapai kesempurnaan hidup. Jangan sampai tenggelam dalam kesenangan sendiri dan menjadi manusia yang tidak peka dengan sekitar.

Untuk dia, partner saya, saya yakin dia akan menjalankan apapun dengan tanggung jawab. Saya tahu kapasitas dia memungkinkan untuk itu. Nanti ketika usia kita menuju senja mungkin kita akan duduk santai di tepi danau dengan joran pancing kita masing-masing sambil bernostalgia dengan cerita masa muda kemudian sesekali tertawa karena mengingat kebodohan-kebodohan yang pernah kita lakukan. Seperti filosofi vokalis band kesayangan saya yang selalu saya anut sampai sekarang, bahwa untuk menjadi bahagai itu sangat sederhana. Iya. Berhentilah menakar bahagia dengan takaran orang lain. Percaya bahwa di setiap kilometer perjalanan hidup kita akan ada perayaan yang wajib disyukuri. Segera mulailah syukurmu yang pasti indah. Berbahagialah....

salam,
linadh

No comments:

Post a Comment