Everything Happens For A Reason

Sore tadi selepas pulang kantor saya mampir ke rumah seorang kawan lama semasa SMA. Sebenarnya saya tertarik kesana karena kopi dan kebab yang dia tawarkan bukan karena saya ingin mendengar cerita dia. Hahaha...

Di awal-awal percakapan kami, kami sangat menikmati. Maksud saya, kami sangat menikmati di setiap gigitan kebab yang masuk ke mulut. Entah kenapa, rasa kebab bisa begitu enaknya. Sungguh ini bukan dusta. Oh oke baiklah, lupakan soal kebab. Biarkan itu menjadi misteri.

Singkat cerita, kawan lama saya ini ternyata sudah berani mengambil keputusan besar untuk masa depannya. Di akhir tahun nanti dia akan melamar perempuan yang menurut dia perempuan itu adalah pilihan bapaknya. Awalnya saya kaget. Kemudian saya ajukan pertanyaan, “atas dasar apa tiba-tiba kamu berubah pikiran yang dulunya menolak sampai pada akhirnya kamu mau menerima dia?”. Dia pun menjawab dengan singkat, “rejeki Allah siapa yang tahu”. Oh iya, jodoh juga salah satu rejeki dari Allah. Oke bro, kali ini kamu lebih pintar. Hahaha.

Sebagai anak laki-laki pertama di keluarganya, dia sadar itu bukan posisi yang mudah. Apapun yang dia kerjakan, apapun pencapaian yang dia dapatkan akan selalu menjadi sorotan di keluarganya. Bahkan ketika pekerjaan yang dia minati berbeda dengan apa yang orang tuanya geluti itupun sudah menjadi beban tersendiri buat dia. Belum lagi soal pendamping hidup, orang tuanya pun sudah memilihkan yang terbaik, dan itu semakin menambah beban dia.

Sebagai orang yang mengenal dia cukup lama, saya sedikit banyak paham apa yang dia takutkan ketika nanti sudah masuk ke fase berkeluarga. Karena dia laki-laki, tanggung jawab terbesarnya adalah menafkahi keluarganya. Sebenarnya dia bukan tidak mampu menafkahi karena dia juga berasal dari keluarga yang berada. Tetapi dia hanya mencemaskan apakah pendampingnya kelak mau bersyukur seberapa pun pemberian dia. Apakah pendampingnya kelak bersedia belajar hidup sederhana. Apakah pendampingnya kelak bersedia mendampinginya dengan sabar dan memulai semua dari nol bersama dia. Ya, dia cemas karena calon pendampingnya berasal dari keluarga yang sangat berada bahkan terpandang yang terbiasa hidup dengan segala fasilitas dan kemudahan.

Klise? Memang. Bahkan terdengar sangat klise. Tapi ingat, ini bukan jaman masa muda orang tua kalian. Ini jaman kalian, jaman yang sangat jauh berbeda. Jaman dimana gengsi lebih dikedepankan daripada nilai-nilai yang lain. Bahkan banyak orang memaksakan diri untuk berpola hidup yang tidak sesuai dengan isi dompetnya. Mereka rela hidup pas-pasan bahkan cenderung kekurangan hanya agar bisa membeli barang-barang bermerk yang nantinya bisa mereka pamerkan di depan orang. Miris memang.

Untuk kawan lama saya yang sedang diliputi kecemasan-kecemasan, percayalah bahwa semua sudah diatur dengan rapi oleh Sang Maha Oke. Kamu tidak akan dibiarkan berjalan sendiri karena tangan-Nya akan selalu membimbingmu menuju ke arah yang seharusnya kamu tuju. Ketika pundakmu mulai lelah karena memikul terlalu banyak beban dan tidak ada bahu untuk bersandar maka bersujudlah karena itu tempat terdekatmu untuk menyapa-Nya dan berkeluh kesah dengan-Nya.

Untuk kawan lama saya, selamat! Akhirnya berani memutuskan hal besar dalam hidupnya dengan penuh kedewasaan karena tidak mengedepankan ego pribadi dan lebih memilih untuk menuruti nasehat orang tuanya. Ini memang bukan jamannya Siti Nurbaya, tapi lebih baik menuruti nasehat orang tua yang sudah jelas untuk kebaikan anaknya daripada bertahan dengan ego yang belum jelas baik buruknya untuk masa depan bukan?

Note: Siap direpotkan untuk membantu kelancaran konser pernikahan akbar di lapangan sriwedari bro! Hahaha...

salam,
linadh



No comments:

Post a Comment